Perkembangan Tatalaksana Intervensi non Bedah pada Penyakit Jantung Bawaan di Indonesia
Updated: Jul 8, 2021
Teknik Zero Fluoroscopy
Bersama Dr Radityo Prakoso, SpJP
Klik disini untuk cek jadwal dokter!

MetroHealth RS MMC - Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan pada struktur dan atau fungsi sirkulasi jantung sejak dalam masa kandungan akibat gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada masa awal perkembangan janin. PJB merupakan kelainan bawaan yang paling sering ditemui, dengan angka kejadian 8-10 per 1000 kelahiran hidup. Sebanyak 80% PJB tidak diketahui penyebabnya, sementara 20% lainnya berkaitan dengan sindrom penyakit, obat, atau zat toksik tertentu. Pada umumnya, PJB pada neonatus dikelompokkan menjadi PJB dengan risiko rendah (tidak menyebabkan kegawatan pada neonatus, dapat tumbuh sampai dengan usia dewasa) dan PJB dengan risiko tinggi (dapat menimbulkan kegawatan dan mengancam jiwa serta menyebabkan kematian jika tidak ditatalaksana dengan benar). Manifestasi klinis bayi dengan PJB risiko tinggi dapat berupa sianosis (warna kebiruan di mukosa mulut dan bibir), distres pernapasan / sindrom gagal jantung, dan sindrom curah jantung rendah/ syok.
Di Indonesia terdapat sekitar 42.800 kasus PJB tiap tahunnya, dimana 10.000 diantaranya memerlukan penanganan baik secara bedah maupun intervensi non bedah pada usia awal kehidupan. Tantangan penanganan PJB di Indonesia sangat kompleks. Dari sisi sumber daya manusia, keberadaan jumlah dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, khususnya yang berkecimpung di pelayanan kardiologi pediatrik dan PJB sangat sedikit. Begitu juga kendala di pelayanan primer, dimana kapasitas dan kemampuan dokter umum dalam membuat keputusan klinis untuk PJB masih perlu ditingkatkan. Dari sisi fasilitas, pusat pelayanan PJB yang komprehensif amat sangat terbatas, begitu juga dengan ketersediaan alat penunjang diagnostik dan fasilitas perawatan yang sesuai standar. Akses transportasi menuju pusat rujukan relatif mahal dan jauh, sehingga kurang efisien secara ekonomi. Keberpihakan regulasi dan kebijakan pemerintah juga dirasakan kurang optimal. Belum lagi masalah sosial ekonomi dan pendidikan orang tua, seperti kepercayaan terhadap dukun dan mitos-mitos tertentu yang dapat menunda waktu pasien mendapatkan pelayanan optimal. Kesemuanya ini mengakibatkan banyak penderita PJB neonatus tidak mendapatkan penanganan yang memadai, bahkan sebagian meninggal dengan sebelum dapat didiagnosis.
Kecurigaan akan adanya PJB pada neonatus harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan awal yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisis, elektrokardiografi, dan foto toraks. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan lanjutan dengan modalitas diagnostik lain seperti ekokardiografi, multi-slice computed tomography (MSCT), magnetic resonance imaging (MRI), dan kateterisasi jantung. Bayi dengan PJB perlu mendapat tatalaksana dan perawatan yang optimal termasuk pelayanan bedah, perioperatif, serta intervensi non bedah bila terindikasi. Tatalaksana PJB yang tepat dan cepat, akan menurunkan morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan usia harapan hidup dan kualitas hidup pasien PJB.
Tatalaksana bedah pada sebagian penyakit jantung bawaan, terutama PJB dengan angka kejadian yang tinggi seperti VSD, ASD, dan PDA, kini telah dapat digantikan. Seiring pesatnya perkembangan teknologi intervensi non bedah sejak 20 tahun belakangan ini, intervensi transkateter telah menjadi pilihan utama bagi bayi dengan PJB. Intervensi transkateter menggunakan radiasi untuk visualisasi jantung. Teknik ini memiliki risiko dan komplikasi tindakan lebih rendah, serta waktu tindakan dan durasi perawatan juga lebih singkat.
Tak berhenti pada teknik intervensi non bedah konvensional, berbagai upaya dilakukan meminimalisir komplikasi dan risiko tindakan. Sebagaimana kita ketahui, radiasi memiliki efek jangka panjang yang berpotensi berbahaya, baik bagi pasien maupun tim dokter di ruang kateterisasi. Hal ini memicu lahirnya teknik ‘zero fluoroscopy’, yaitu tindakan intervensi transkateter tanpa menggunakan fluoroskopi/ radiasi. Sebagai gantinya, visualisasi dilakukan dengan pencitraan ultrasound (echocardiographyi).

Di Indonesia, teknik ‘zero fluoroscopy’ pertama kali dikembangkan oleh dr. Radityo Prakoso Sp.JP (K) dan dr. Rina Ariani SpJP (K) di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta. Teknik ini pertama kali dilakukan tahun 2018 silam pada pasien ibu hamil 24 minggu berusia 26 tahun dengan keluhan gagal jantung akibat penyakit jantung bawaan berupa defek septum atrium yang dideritanya. Pasien dianggap berisiko tinggi untuk dilakukan tindakan pembedahan, sedangkan penutupan defek transkateter konvensional dengan radiasi juga memiliki efek teratogenik serius untuk janin. Intervensi transkateter tanpa radiasi pun menjadi pilihan. Prosedur berjalan tanpa komplikasi bagi pasien maupun janin dalam kandungan dan sekaligus menjadi titik awal lahirnya era baru “zero fluoroscopy” di bidang kardiologi pediatrik intervensi di Indonesia.
Dua tahun semenjak prosedur pertama, teknik ini terus berkembang. Berbagai prosedur seperti penyadapan jantung kanan, penutupan defek septum ventrikel, penutupan duktus arteriosus persisten, penutupan foramen ovale persisten, hingga penutupan fistula sinus valsava telah berhasil dilakukan tanpa menggunakan radiasi. Teknik ini juga telah diperkenalkan ke pusat jantung di berbagai wilayah Indonesia, seperti RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan RS Abdul Wahab Syahrai Samarinda. Belum lama ini, tim dari RSUP Haji Adam Malik Medan yang dipelopori oleh dr. Ali Nafiah Nasution, SpJP(K) pun telah berhasil mengadopsi teknik serupa. Diharapkan teknik ini dapat terus berkembang, bukan hanya dalam hal kasus yang ditangani, namun juga akan perkembangannya ke seluruh negeri.
Klik disini untuk pendaftaran konsultasi lebih lanjut!